Perkembangan
Jilbab Pada Masa Orde Baru Tahun 1979-1989
Oleh: Wahidatul Fahiza
Pembimbing: Aulia Rahman, S.Hum., M.A
Wahai Nabi katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin lainnya,
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab (33): 59)
Saat ini, baik disekolah, tingkat dasar,
menengah, tinggi bahkan instansi pemerintah kita semua, sudah bisa lega. Sudah
bisa menggunakan jilbab. Tahukah kita semua bahwa berkibarnya jilbab di tanah
air ini sebelumnya memerlukan pengorbanan?? Pengorbanan yang mungkin
mempertaruhkan nyawa dan harga diri demi sebuah hijab sebagai bentuk kecintaan
kepada Allah semata.. Sungguh, kebebasan menutup aurat (jilbab) yang kita
rasakan sekarang adalah bentuk upaya mereka yang memperjuangkan hak-hak
muslimah di tanah air.
Rahmah El Yunusiyyah yang pada tahun 1935
mewakili kaum ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum Perempuan di
Batavia. Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana
perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam
kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam
kebudayaan Indonesia.
Tidak sampai disitu bentuk perjuangan kaum
hawa dalam menegakkan perintah Allah SWT. Revolusi jilbab terjadi 1979,berawal
dari Siswi-siswi berkerudung di SPG Negeri Bandung hendak dipisahkan pada lokal
khusus. Mereka langsung memberontak atas perlakuan diskriminasi terhadap
jilbabnya. Ketua MUI Jawa Barat turun tangan hingga pemisahan itu berhasil
digagalkan. Ini adalah kasus awal dari rentetan panjang sejarah jilbab di bumi
pertiwi NKRI. Sebelum kita bahas lebih dalam lagi mengenai sejarah “jibab”,
maka mari kita pahami arti jilbab itu sendiri.
Jilbab adalah kain yang digunakan oleh
wanita-wanita muslim untuk menutupi kepala hingga dada mereka, kecuali bagian
wajah. Istilah kerudung terkadang juga digunakan menggantikan kata jilbab. Pada
awal tahun 1980-an, istilah kerudung lebih sering digunakan, tetapi belakangan
istilah jilbab menjadi lebih populer dan semakin sering digunakan. Begitu pula
kasus-kasus pelarangan jilbab yang terjadi sepanjang tahun 1980-an kemudian
populer dengan nama ”kasus jilbab”. Itu juga sebabnya mengapa kata ”jilbab”
yang lebih sering digunakan dalam karya tulis ini untuk menggambarkan apa yang
dilarang oleh pihak sekolah serta diperjuangkan oleh para siswi sekolah negeri,
walaupun ”jilbab” yang dimaksud di sini sebenarnya mewakili nilai-nilai serta
bentuk busana yang lebih kompleks, yaitu busana muslim yang menutup seluruh
aurat wanita sesuai dengan syariat Islam.
Sejarah mengenai jilbab di Indonesia
juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya.
Jauh sebelum indonesia merdeka dan para muslimah indonesia yang terdiri dari pelajar,
mahasiswa dan polwan memperjuangkan pemakain jilbab pada sekolah atau
institusi.
Pelarangan
jilbab pada masa orde baru juga terjadi pada tahun 1979 dan berawal dari siswa
berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) negeri Bandung, mereka dispisahkan
dari teman-temannya yang tidk memakai jilabb pada kelas khusus, namun mereka
menolak. Mengetahui hal ini, EZ Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa
Barat saat itu segera turun tangan hingga pemisahan kelas itu akhirnya berhasil
digagalkan.
Jika pada masa sebelum
kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik dimedia massa, namun di orde
baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat islam khususnya muslimah
mendapat tantangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan
dan pihak militer. Militer muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam
panggung politik orde baru. Militer
Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik, Eksekutif, Legislatif,
maupun Birokrasi. Departemen Pendidikan dan kebudayaan sendiri untuk tahun 1982
terdiri dari 44% militer. Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para
ulama. Ruang gerak mereka untuk mensyiarkan nilai-nilai agama harus
berebenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti islam.
Sifat
birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan islam menemukan kesulitan
untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam
masalah jilbab dikalangan pelajar putri. Masuknya watak militerisme dalam
kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK
Dirjen Dikdasmen No.052 Tahun 1982. Didalam SK, tidak dilarang penggunaan
jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah SMA-SMA Negeri, hanya saja bila mereka
ingin memakai jilbab disekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri
disekolah memakai jilbab.
Disekolah hanya ada satu paket seragam
saja, dan untuk muslimah memakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali. Para
siswi yang dilihat tidak mengikuti aturan seragam sekolah nasional dengan
memakai jilbab diteroro oleh pemerintah, ada pula yang sampai dikeluarkan dari
sekolah, karena pemakaian jilbab pada saat itu dianggap sebagai motif politik,
sebagaimana yang dipaparkan oleh sejarawan internasional islamic university of
malaysia (IIUM), alwi alatas dalam blog pribadinya tamaddunislam. wordpress.
com.
SK tersebut
hampir-hampir tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah
dalam bentuk lain. Karenanya, kebijakan pemerintah ini segera berbenturan
dengan keinginan beberapa siswi muslim di sekolah-sekolah negeri untuk menutup
auratnya sesuai dengan syari’at Islam yang mereka yakini. Kalau sebelum
keluarnya SK 052 saja sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab,
maka setelah keluarnya SK tersebut semakin banyak siswi-siswi berjilbab yang
memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang
bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya
dipersilahkan untuk keluar dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah
ke sekolah swasta.
Pada tahun 1983 perdebatan tentang
penggunaan “jilbab” disekolah antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Noegroho
Notosoesanto yang kemudian direspon oleh MUI, masih menggunakan kata Kerudung.
Noegroho menyatakan bahwa pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai
kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai
kerudung. Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan
pertemuan khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menegaskan bahwa
seragam harus sama bagi semua orang berkaiatan dengan peraturannya, karena bila
tidak sama berarti bukan seragam. Saat itu memang tengah gencar-gencarnya
penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Penggusuran jilbab di Indonesia
dilakukan secara massif, mulai dari peraturan-peraturan pemerintah yang
tertulis dan tak tertulis, hingga pada usaha-usaha mejauhkan kata jilbab dari
generasi saat itu. Salah satu contohnya adalah dengan menghilangkan kata jilbab
pada Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan ke-7 tahun
1984, lema yang kemudian digunakan adalah kata yang belum populer di Indonesia
(saat itu) yaitu “hijab” yang merujuk pada kain penutup aurat bagi perempuan
muslim.
Hal
ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa tidak selayaknya memberikan
kesempatan ruang untuk pelajar putri mengenakan jilbab, padahal indonesia
adalah negara islam dengan penduduknya dominan muslim. Apakah itu salah satu bentuk penerapan budaya
militer. Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah, tentang lrangan
jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer didalamnya. Ketika pelajar putri
kedapatan memakai jilbab disekolah maka akan bermasalah dengan pihak sekolah.
Selain itu rumah para siswa berjilbab didatangi oleh intelejen. Jilbab pada
masa itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak
pemerintah. Terlihat juga ketidak pahaman guru maupun pejabat departemen
pendidikan dan kebudayaan, terhadap maslaah hukum islamlam hal pakaian muslimah.
Sebagai contoh, tidak lama setelah
kemunculan SK 052 terjadi kausus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada
tahuun 1982. Wargono, guru olahraga disekolah itu mengutip ayat-ayat Al-qur’an
dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan pada ciri-ciri tradisi setiap
bangsa. Menurutnya, penutu aurat yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu
disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat indonesia dan bukan menurut kebiasaan
ditempat islam berasal. Guru lahraga ini mewajibakan siswanya untuk memakai hot
pants (celana pendek diatas luntut) pada saat jam pelajaran olahraga.
Pada awal tahun 1980-an memang merupakan
periode konflik antara islam dan pemerintahan. Kedua belah pihak saling
berlawanan. Pada tahun 1984, pihak depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang
pakaian seragam sekolah, diddalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang
depdikbud terhadap bermunculnya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta
protes-protes masyarakat terhadap SK 052. kemudian masih pada massa orde
baru, Alwi Alatas dalam tulisannya Kasus
Jilbab di Sekolah-sekolah negeri di Indonesia, mencatat setelah peristiwa
pelarangan jilbab yang terjadi di banyak sekolah karena SK 052/C/Kep/D/.82
tentang seragam sekolah nasional hingga ramainya isu wanita berjilbab yang
menebar racun dipasar-pasar, yang menimbulkan reaksi dan kemarahan dari umat
islam yang akhirnya melahirkan revolusi jilbab. Ribuan mahasiswa dan pelajar
yang terdiri dari 60 lembaga islam se-Bandung di Universitas Padjajaran
berunjuk rasa pada awal november 1989. Selanjutnya Mahasiswa dan pelajar
kembali menggelar unjuk rasa menuntut kebebasan memakai jilbab pada 21 Desember
1989. Korban demi korban terus
berjatuhan tetapi semangat juang tetap berkorban sampai tibalah saat yang
berbahagia. Unjuk rasa, protes, demontrasi dan dialog intensif serta jalur
hukum. Seiring keluarnya SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 jilbab
dilengkapi dengan busana menutup auratnya dinyatakan halal “diperbolehkan”
masuk ke sekolah.
Meski sudah diterima di sekolah dasar sampai menengah, namun
perjuangan jilbab di tingkat universitas pada tahun ini masih keras. Secara
personal, banyak dosen di beberapa universitas yang tidak mau memberikan mata
kuliah pada mahasiswi yang berjilbab. Hal itu kemudian merespon solidaritas
dari beberapa aktivis di berbagai kampus. Dan pada silaturrahim lembaga dakwah
kampus saat itu bersepakat menjadikan isu jilbab sebagai salah satu isu
nasional yang harus diperuangkan.
Perjuangan mahasiswa dalam perjuangan kebebasan bagi
muslimah untuk menggunakan jilbab sedikit demi sedikit menuai hasil. Dan moment
reformasi tahun 1998 juga menjadi salah satu batu loncatan peruangan jilbab di
Indoensia. Sejak reformasi, instansi pemerintahan sudah mulai memberikan
kebebasan bagi muslimah untuk menggunakan jilbab. Bahkan pada tahun 2000-an,
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) juga sudah mulai
memperbolehkan taruna mereka untuk mengunakan jilbab.Kini perjuangan jilbab
yang “berdarah-darah” itu sudah membuahkan hasil. Wanita berjilbab dapat kita
temukan di mana-mana. Jilbab yang dulu dianggap sebagai pakaian kampungan, aneh
dan terlarang, kini telah naik derajatnya, menjadi salah satu jenis pakaian
yang diterima dan dihargai oleh masyarakat luas. Dan bakan sudah menjadi trend
mode yang digandrungi oleh remaja muslimah yang menamakan diri hijabber
community. Terlepas dari trend jilbab yang tak sebatas pada unsur syar’i
itu, saya ingin mengingatkan bahwa perjuangan jilbab tak lepas dari perjuangan
mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Perjuangan
kebebasan berjilbab itu digagas melalui kelompok-kelompok kecil dalam
lingkungan kampus. Dan hingga kini, melalui Jaringan Muslimah (Jarmus) Forum
Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) mahasiswa terus menyerukan
kebebasan menggunakan jilbab untuk setiap muslimah.
Akhirnya
kebenaran itu terbuka bukan karena aturan manusia, tetapi aturan Allah lah Yang
Maha Kuasa. Hanya yang harus dipertanyakan kepada setiap insan kita. Apakah
dari sekian perjuangan untuk mendapatkan kebebasan ini, justru kita malah
mengahancurkannya sendiri?? Misalnya, jika dulu yang menggunakan jilbab adalah
28 orang dari 30 itu artinya yang tidak menggunakan hanya 2 orang saja. Tapi
lihatlah sekarang justru berbalik. Dari 30 orang yang ada, hanya 2 orang
yang menggunakan jilbab. Yang itu artinya 28 orang yang tidak menggunakan
jilbab..Padahal,masih ingatkah kita pada perjuangan diatas dan perintahnya
Allah.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.” [24:31].