menu

KEBIJAKAN SOEHARTO DALAM MENGURANGI JUMLAH PENDUDUK TAHUN 1957

KEBIJAKAN  SOEHARTO  DALAM  MENGURANGI  JUMLAH PENDUDUK MELALUI PROGRAM KELUARGA BERENCANA  TAHUN 1957 Oleh :  DEVI WILANTRI Pembim...

Film dan sandiwara di langsa pada masa pendudukan jepang

Film dan Sandiwara di Langsa pada masa Pendudukan Jepang



Pertunjukan dan Propaganda: Film dan Sandiwara di Langsa pada masa Pendudukan Jepang
Oleh Aulia Rahman, Staf Pengajar Pendidikan Sejarah Universitas Samudra Langsa 


Dunia hiburan atau pertunjukan, tampaknya tidak pernah lepas dari keseharian setiap masyarakat. Mau keadaan sedang susah seperti apapun, dunia hiburan akan terus ada. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang setiap saat senantiasa memerlukan hiburan untuk sarana rekreasi. Paling tidak ada dua  persyaratan yang harus dipenuhi dalam keberlangsungan sebuah pertunjukan. Pertama adalah adanya pelaku atau  actor. Kedua, ada penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Demikian juga pada masa pendudukan jepang di Langsa, dimana dunia hiburan masih laris dipertunjukkan. Salah satu jenis hiburan yang ada pada waktu itu adalah film bioskop. Film merupakan salah satu bentuk hiburan yang sudah sangat popular di Langsa pada awal tahun 1900-an. Sebagai sebuah hiburan baru, pada saat itu penikmatnya didominasi oleh orang-orang Eropa di Langsa. Film yang diputar pada sebuah bioskop juga didominasi oleh film-film barat yang di impor langsung dari Amerika. Orang-orang pribumi hanya beberapa gelintir orang yang dapat menikmati sajian hiburan ala Eropa tersebut. Selain karena harga tiket yang cukup mahal, tidak semua orang-orang pribumi dapat memahami maksud dan jalan cerita dari sebuah film. Pada masa Belanda, bioskop dan film yang diputar, adalah sebuah symbol dari ekslusifitas dunia hiburan.

Namun pada masa Jepang, fungsi sebagai hiburan tampaknya telah mengalami pergeseran. Pada masa pendudukan Jepang, film berubah menjadi salah satu alat propaganda yang sangat efektif. Dengan format film yang sebelumnya telah dikemas dengan sangat menarik serta menampilkan hal-hal yang heroic, akan sangat mudah untuk menggugah semangat dan memobilisasi masa. Hal tersebut tampaknya sangat cocok diterapkan, mengingat pada masa pendudukan Jepang, Jepang sedang berada dalam tingkat kewaspadaan yang tinggi, karena terlibat dalam perang Asia Timur Raya. Media film diharapkan menjadi salah satu media untuk memupuk, menggelorakan semangat, serta mendapatkan simpati dari masyarakat pribumi.

Dalam surat kabar Atjeh Shinbun 19 Juni 1943, dikabarkan bahwa di Langsa terdapat pemutaran film Jepang di Setara Eigakan.  Film tersebut diputar dua kali dalam sehari. Pertama kali film tersebut diputar pada pukul 7 Nippon yang diperuntukkan khusus bagi para karyawan dan keluarganya. Sementara itu, pertunjukan kedua diputar pukul 10 Nippon yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Pemutaran film Jepang ini tampaknya mendapatkan perhatian yang sangat bagus dari masyarakat. Lain halnya dengan pemutaran Film Nippon di Bieruen yang diputar hingga 4 kali, mulai jam 4 petang hingga pukul 12 malam. Harga karcis perorang 10 sen dan jumlah penontonnya sekita 1.300 orang ( Atjeh Shinbun 11 April 1943).

Ditengah-tengah situasi sosial, politik dan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, mereka mendapatkan sebuah suguhan hiburan yang dapat meringankan sejenak beban pikiran mereka. Hal tersebut dapat dilihat dengan penuhnya tempat pemutaran film Jepang tersebut.Film jepang yang diputar di Setara Eigakan terdiri dari 3 bagian. Pertama pembukaan, kedua nyanyian Kunino Hana yang disertai dengan gambar-gambar yang menarik, ketiga tentang perjuangan tentara Jepang di Hawai dan Malaysia.

Dengan diputarnya film-film tersebut, secara tidak sadar masyarakat diberikan informasi searah yang berkaitan dengan Jepang, yang tentu saja semua informasi tentang Jepang bermuatan positif, bahkan cenderung melebih-lebihkan. Hal ini memang disengaja, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan bagi para tentara Jepang dalam mengahadapi perang Asia Timur Raya.

Hiburan lainnya yang dipertunjukkan di Langsa pada masa pendudukan Jepang di Langsa adalah kelompok Sandiwara Sendehen. Sandiwara Sendehen pentas di Langsa pada hari minggu tanggal 11  Sigatsu  Syowa 18 bertempat di Sisen Eigekan. Cerita yang dipentaskan adalah Dibawah Lindungan Hinomaru, karangan dari Umar Amin Husein. Drama tersebut terdiri dari 5 babak. Setelah pertunjukan selesai, penonton sangat puas. (Atjeh Shinbun 11 April 1943).

Kelompok sandiwara Sendehen ini merupakan kelompok sandiwara keliling. Wilayah pertunjukan kelompok sandiwara ini tidak terbatas pada satu tempat. Mereka berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. Hampir sama dengan Film bioskop, sandiwara Sendehen ini tampaknya memiliki tujuan sebagai alat propaganda Jepang. Hal ini dapat dilihat dari Judul atau Lakon yang dibawakan, yakni Di bawah Lindungan Hinomaru. Judul tersebut menyiratkan bahwa Hinomaru yang dianggap sebagai symbol Nippon memiliki kekuatan yang luar biasa yang sanggup melindungi Negara-negara di kawasan Asia Timur-Tenggara, termasuk Indonesia.

Pilihan Nippon menggunakan media hiburan sebagai salah satu alternative alat propaganda, nampaknya merupakan pilihan yang sangat cerdas. Karakter masyarakat yang selalu membutuhkan hiburan untuk kesegaran rohani, membuat hiburan ala Jepang ini sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat yang berduyung-duyung datang dan menyaksikan pertunjukan tersebut. Dengan demikian, peluang keberhasilan alat propaganda melalui media hiburan ini dapat berjalan sesuai yang direncanakan oleh Jepang.