menu

KEBIJAKAN SOEHARTO DALAM MENGURANGI JUMLAH PENDUDUK TAHUN 1957

KEBIJAKAN  SOEHARTO  DALAM  MENGURANGI  JUMLAH PENDUDUK MELALUI PROGRAM KELUARGA BERENCANA  TAHUN 1957 Oleh :  DEVI WILANTRI Pembim...

KEBIJAKAN SOEHARTO DALAM MENGURANGI JUMLAH PENDUDUK TAHUN 1957

KEBIJAKAN  SOEHARTO  DALAM  MENGURANGI  JUMLAH PENDUDUK MELALUI PROGRAM KELUARGA BERENCANA
 TAHUN 1957

Oleh : DEVI WILANTRI
Pembimbing: Aulia Rahman, S.Hum., M.A

A.    Sejarah Keluarga Berencana di Indonesia
Thomas Robert Malthus seorang pendeta dari Inggris pada tahun 1978 mengeluarkan sebuah buku dengan judul An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society. Inti pemikiran Malthus menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampui pertumbuhan persediaan makanan. Jumlah penduduk cenderung tumbuh secara “deret ukur” (misalnya, dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan cenderung tumbuh secara “deret hitung” (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya).
Permasalahan yang digambarkan oleh Malthus itulah yang saat ini menghantui negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Saat ini jumlah penduduk di Indonesia telah mencapai 216 juta jiwa dan menduduki urutan keempat terbanyak di dunia. Selain itu laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun, artinya di Indonesia setiap tahun jumlah penduduk bertambah 3-3,5 juta jiwa, dan ini hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura.
Jika tidak dikontrol, maka Indonesia akan mengalami ledakan penduduk yang cukup besar beberapa tahun mendatang. Ledakan penduduk tersebut tentu saja akan menimbulkan ancaman seperti kemiskinan dan kelaparan. Sebenarnya pemerintah Indonesia telah membuat suatu kebijakan untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yaitu dengan program Keluarga Berencana (KB). Program yang diluncurkan pada masa orde baru itu terbilang sukses, karena telah terbukti mengantarkan Soeharto ke New York untuk menerima penghargaan bidang kependudukan dari Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1988.
Pemerintah mengambil suatu langkah antisipasi untuk menekan tingginya laju pertumbuhan penduduk dengan membentuk sebuah badan yang secara spesifik dan khusus bertanggung jawab terhadap pengendalian pertumbuhan penduduk di Indonesia, yaitu BKKBN yang resmi berdiri melalui Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 1970. Realisasi dari pelaksanaan BKKBN memungkinkan adanya peran dan keterlibatan berbagai pihak. Dalam tugas promosi, BKKBN banyak melibatkan tokoh masyarakat dan pemerhati KB, sedangkan dalam pelayanan kontrasepsi, BKKBN senantiasa bekerja sama dengan kementrian kesehatan yang dalam hal ini menempatkan bidan sebagai tenaga kesehatan profesional.
Pada masa orde lama, kebijakan keluarga berencana kurang diperhatikan, soekarno menganggap bahwa jumlah penduduk yang besar merupakan aset negara yang sangat penting, sehingga ia tidak menganjurkan adanya program keluarga berencana. Namun kontradiksi kebijakan itu terjadi ketika soeharto naik, dan orde baru dibawah kepemimpinannya menganjurkan bahkan mewajibkan (untuk kalangan PNS) untuk setiap keluarga mengikuti program KB.
Dinamika transisi perubahan kebijakan Keluarga Berencana  dari rezim ke rezim merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kajian sejarah demografi, dan terlebih apabila fenomena tersebut dihubungkan dengan kondisi lonjakan pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini yang sangat pesat. Keluarga Berencana atau disingkat KB merupakan program yang ada di hampir setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, program ini bertujuan untuk mengontrol jumlah  penduduk dengan mengurangi jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan usia 15- 49 tahun, yang kemudian disebut dengan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR). Dengan pengaturan jumlah anak tersebut diharapkan keluarga yang mengikuti program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan mereka.
Penerapan keluarga berencana biasanya dilakukan pada saat pemerintah kurang mampu untuk mengimbangi tingkat laju pertumbuhan penduduk, dengan kebutuhan serta fasilitas yang dapat menjamin kesejahteraan penduduknya. Sebenarnya jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi penggerak yang kuat jika penduduknya berkualitas.
Namun potensi dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar kurang mampu dioptimalkan oleh pemerintah. Selain itu banyaknya jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan serta fasilitas, menimbulkan berbagai macam persoalan sosial, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas, pemukiman kumuh, kemacetan, kerusakan lingkungan, persaingan yang ketat dalam memperoleh lapangan pekerjaan, hingga pelayanan kesehatan yang buruk.

B.     Kebijakan Kependudukan Masa Pemerintahan Soeharto
Pada tahun 1965 terjadi kudeta yang disebut G 30 S dan aksi penolakan terhadap PKI. Peristiwa-peristiwa tersebut akhirnya berujung dengan turunnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan. Selain itu muncullah Soeharto dan orde barunya yang akan membawa angin perubahan dalam kebijakan kependudukan di Indonesia.
Soeharto yang sangat pro barat memiliki kebijakan yang berbeda dengan Soekarno. Dalam hal kependudukan pun Soeharto mendapat bantuan dari USAID dan UNFPA. Sehingga program kebijakan kependudukan Soeharto berasal dari saran-saran negara barat. Selain itu Soeharto juga berhasil mengatasi hambatan berupa moralitas agama, yang seperti diketahui moralitas agama merupakan salah satu hal yang mempengaruhi lancar atau tidaknya program pengendalian penduduk.  Dalam hal ini MUI (Majelis Ulama Indonesia) membuat suatu fatwa atau resolusi yang intinya mengizinkan adanya kontrasepsi dan mendukung kebijakan pemerintah tentang pengendalian penduduk.
Suatu hal yang sangat fenomenal, mengingat gerakan moralis agama merupakan tantangan terbesar bagi kebijakan pengendalian penduduk. Orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto sukses untuk merangkul kaum Moralis Agama (MUI), selain itu Soeharto menandatangani Pimpinan Dunia ‘Deklarasi Kependudukan pada tahun 1967 sebagai bukti komitmennya untuk mengurangi jumlah laju pertumbuhan penduduk. Setahun kemudian Soeharto membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), Pada tahun 1970 terjadi peningkatkan status dari LKBN menjadi dewan koordinasi (BKKBN) dengan ketua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Peran sentral Soeharto dalam pembentukan program keluarga berencana dan dukungannya yang teguh dalam pelaksanaannya, diakui secara internasional dengan pemberian award 1989 dari PBB. Sementara tidak ada keraguan bahwa Soeharto membuat kontribusi yang luar biasa untuk program ini, hal itu dilakukan sebagai upaya penting dalam memberikan wawasan bagi mereka yang berada dalam kesulitan nyata serta sebagai jawaban untuk mengatasi penolakan serta permusuhan terhadap keluarga berencana. 
Dapat ditarik benang merah, bahwa ternyata pergantian penguasa juga diikuti dengan pergantian kebijakan. Khususnya kebijakan yang berkaitan dengan masalah kependudukan. Dengan mempelajari kebijakan kependudukan dari setiap rezim atau pihak yang berkuasa dapat dilihat orientasi kebijakan kependudukan yang berbeda-beda, tergantung visi dan ideologis pembangunan pada masa itu. Kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda dari zaman kolonial hinga pasca proklamasi kemerdekaan tersebut, akhirnya sangat mempengaruhi strukrur kependudukan Indonesia saat ini.

C.    Organisasi Keluarga Berencana
1.      Organisasi non pemerintah yaitu PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia)
          Pada tahun 1953, sekelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan, khususnya dari kalangan kesehatan memulai prakasa kegiatan KB. Kegiatan kelompok ini berkembang hingga berdirilah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Pada tahun 1957 tepatnya pada tanggal 23 Desember 1957 dengan Soeharto sebagai Ketua PKBI adalah pelopor pergerakan  keluarga berencana yang membantu masyarakat yang memerlukan bantuan secara sukarela.
          Tujuan dari PKBI adalah memperjuangkan terwujudnya keluarga sejahtera melalui 3 macam usaha yaitu:
a.       Mengatur kehamilan
b.      Mengobati kemandulan
c.       Memberi nasehat perkawinan
Pada tahun 1970 LKBN dibubarkan oleh pemerintah dan kemudian dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
2.      Organisasi pemerintah yaitu BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional)
Keputusan Presiden RI Nomor 8 tahun 1970 tentang BKKBN yaitu Depkes sebagai unit pelaksana program KB. BKKBN yaitu badan resmi pemerintah yang bertanggungjawab penuh mengenai pelaksanaan program KB di Indonesia. Keuntungan dari BKKBN adalah:
a.       Memungkinkan program-program melepaskan diri pendekatan klinis yang jangkauannya terbatas.
b.      Memungkinkan besarnya peranan pakar-pakar non medis dalam mensukseskan program keluarga berencana di Indonesia melalui pendekatan ke masyarakat.
Sedangkan fungsi BKKBN adalah pengkoordinasi, perencana, perumus kebijaksanaan, pengawas pelaksanaan dan evaluasi. Pada waktu itu tujuan program Keluarga Berencana adalah :
a.       Memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu,anak keluarga dan bangsa.
b.      Mengurangi angka kelahiran untuk menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa
Dalam perkembangan selanjutnya BKKBN mengembangkan lagi kegiatannya menjadi Program Nasional Kependudukan  dan  KB (KKB) yang pada waktu ini mempunyai  2 tujuan:
a.     Tujuan demografis, yaitu mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk berupa penurunan angka fertilitas dari 44 permil pada tahun 1979 menjadi 22 permil pada tahun 1990 atau 50 % dari keadaan pada tahun 1971
b.    Tujuan normatif, yaitu  dapat dihayati Norma Keluarga Kecil bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang pada satu waktu akan menjadi falsafah hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.

D.    Kebijakan Keluarga Berencana Masa Soeharto
Program Keluarga Berencana di Indonesia dimulai sekitar tahun 1957. Pada tahun tersebut, didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Pada saat itu, program keluarga berencana masuk ke Indonesia melalui jalur urusan kesehatan. Pada masa orde baru, program keluarga berencana mulai menjadi perhatian pemerintah. PKBI sebagai organisasi yang mengelola program keluarga berencana mulai diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman. Pemerintahan orde baru ini, yang menitik beratkan pembangunan pada sektor ekonomi, menyadari bahwa program keluarga berencana sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi.
Sebagaimana dengan optimisnya Soekarno yang bangga dengan jumlah penduduk yang besar. Soeharto juga bangga bahwa ia dapat mensederhanakan berbagai solusi permasalahan kependudukan dengan mengintensifkan eksploitasi tanah. Namun, optimismenya malah menjadi masalah ketika akhirnya jumlah penduduk Indonesia malah menjadi beban pemerintah dan menjadi hambatan terbesar bagi pembangunan nasional. Dan masalah ini semakin rumit, ketika pertambahan penduduk tidak sebanding dengan pemerataan ekonomi.
Masa orde baru dibawah pemerintahan Soeharto berhasil mengatasi hambatan terbesar tentang permasalahan kependudukan. Dan untuk mengurangi lajunya jumlah penduduk, Soeharto membentuk program keluarga berencana (KB) yang bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan, dan wilayah yang mulai terbatas serta menjadikan keluarga sejahtera dan berkualitas.

E.     KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Malthus pada zaman industri sedang berkembang berpikir bahwa manusia jangan terlalu banyak berkhayal dengan kemampuan teknologi mereka akan dapat memenuhi segala kebutuhan karena pertumbuhan manusia laksana deret ukur, sedangkan pertumbuhan dan kemampuan sumber daya alam untuk memenuhinya berkembang dalam deret hitung. Dengan demikian dalam suatu saat manusia akan sulit untuk memenuhi segala kebutuhannya karena sumber daya alam yang terbatas.
2.      Masa orde baru dibawah pemerintahan Soeharto berhasil mengatasi hambatan terbesar tentang permasalahan kependudukan. Dan untuk mengurangi lajunya jumlah penduduk, Soeharto membentuk program keluarga berencana (KB) yang bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan, dan wilayah yang mulai terbatas serta menjadikan keluarga sejahtera dan berkualitas.

F.     SARAN
Mempelajari sejarah demografi dapat digunakan sebagai kunci untuk memahami perubahan yang terjadi di masyarakat. Selain itu salah satu fungsi mempelajari sejarah demografi ialah digunakan untuk memprediksi kondisi penduduk di masa yang akan datang.  Sehingga dengan memahami perubahan di masayarakat, dapat dicari solusi-solusi untuk mengatasi beberapa problem kependudukan yang ada di masyarakat.

G.    DAFTAR PUSTAKA
An Nabhani, T. 2003. Peraturan Hidup Dalam Islam. Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah.

Arjoso, S. 1991. Sejarah Perkembangan Keluarga Berencana dan Program Kependudukan. Jakarta: Pusat Pelatihan dan Pendidikan BKKBN.


Thomas Linblad. 2000. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Perkembangan Jilbab Pada Masa Orde Baru Tahun 1979-1989

Perkembangan  Jilbab Pada Masa Orde Baru Tahun 1979-1989
Oleh: Wahidatul Fahiza

Pembimbing: Aulia Rahman, S.Hum., M.A

Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin lainnya, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab (33): 59)
Saat ini, baik disekolah, tingkat dasar, menengah, tinggi bahkan instansi pemerintah kita semua, sudah bisa lega. Sudah bisa menggunakan jilbab. Tahukah kita semua bahwa berkibarnya jilbab di tanah air ini sebelumnya memerlukan pengorbanan?? Pengorbanan yang mungkin mempertaruhkan nyawa dan harga diri demi sebuah hijab sebagai bentuk kecintaan kepada Allah semata.. Sungguh, kebebasan menutup aurat (jilbab) yang kita rasakan sekarang adalah bentuk upaya mereka yang memperjuangkan hak-hak muslimah di tanah air.
Rahmah El Yunusiyyah yang pada tahun 1935 mewakili kaum ibu Sumatera Tengah untuk mengikuti Kongres kaum Perempuan di Batavia. Dalam kongres tersebut, ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, masih dalam kongres yang sama, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.
Tidak sampai disitu bentuk perjuangan kaum hawa dalam menegakkan perintah Allah SWT. Revolusi jilbab terjadi 1979,berawal dari Siswi-siswi berkerudung di SPG Negeri Bandung hendak dipisahkan pada lokal khusus. Mereka langsung memberontak atas perlakuan diskriminasi terhadap jilbabnya. Ketua MUI Jawa Barat turun tangan hingga pemisahan itu berhasil digagalkan. Ini adalah kasus awal dari rentetan panjang sejarah jilbab di bumi pertiwi NKRI. Sebelum kita bahas lebih dalam lagi mengenai sejarah “jibab”, maka mari kita pahami arti jilbab itu sendiri.
Jilbab adalah kain yang digunakan oleh wanita-wanita muslim untuk menutupi kepala hingga dada mereka, kecuali bagian wajah. Istilah kerudung terkadang juga digunakan menggantikan kata jilbab. Pada awal tahun 1980-an, istilah kerudung lebih sering digunakan, tetapi belakangan istilah jilbab menjadi lebih populer dan semakin sering digunakan. Begitu pula kasus-kasus pelarangan jilbab yang terjadi sepanjang tahun 1980-an kemudian populer dengan nama ”kasus jilbab”. Itu juga sebabnya mengapa kata ”jilbab” yang lebih sering digunakan dalam karya tulis ini untuk menggambarkan apa yang dilarang oleh pihak sekolah serta diperjuangkan oleh para siswi sekolah negeri, walaupun ”jilbab” yang dimaksud di sini sebenarnya mewakili nilai-nilai serta bentuk busana yang lebih kompleks, yaitu busana muslim yang menutup seluruh aurat wanita sesuai dengan syariat Islam.
          Sejarah mengenai jilbab di Indonesia juga tidak terlepas dari sejarah perjuangan untuk menerapkan dan memakainya. Jauh sebelum indonesia merdeka dan para muslimah indonesia yang terdiri dari pelajar, mahasiswa dan polwan memperjuangkan pemakain jilbab pada sekolah atau institusi.
          Pelarangan jilbab pada masa orde baru juga terjadi pada tahun 1979 dan berawal dari siswa berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) negeri Bandung, mereka dispisahkan dari teman-temannya yang tidk memakai jilabb pada kelas khusus, namun mereka menolak. Mengetahui hal ini, EZ Muttaqien, Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat saat itu segera turun tangan hingga pemisahan kelas itu akhirnya berhasil digagalkan.
          Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik dimedia massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat islam khususnya muslimah mendapat tantangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer. Militer muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung  politik orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik, Eksekutif, Legislatif, maupun Birokrasi. Departemen Pendidikan dan kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44% militer. Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk mensyiarkan nilai-nilai agama harus berebenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti islam.
          Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan islam menemukan kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab dikalangan pelajar putri. Masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 Tahun 1982. Didalam SK, tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah SMA-SMA Negeri, hanya saja bila mereka ingin memakai jilbab disekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri disekolah memakai jilbab.
          Disekolah hanya ada satu paket seragam saja, dan untuk muslimah memakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali. Para siswi yang dilihat tidak mengikuti aturan seragam sekolah nasional dengan memakai jilbab diteroro oleh pemerintah, ada pula yang sampai dikeluarkan dari sekolah, karena pemakaian jilbab pada saat itu dianggap sebagai motif politik, sebagaimana yang dipaparkan oleh sejarawan internasional islamic university of malaysia (IIUM), alwi alatas dalam blog pribadinya tamaddunislam. wordpress. com.
          SK tersebut hampir-hampir tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain. Karenanya, kebijakan pemerintah ini segera berbenturan dengan keinginan beberapa siswi muslim di sekolah-sekolah negeri untuk menutup auratnya sesuai dengan syari’at Islam yang mereka yakini. Kalau sebelum keluarnya SK 052 saja sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab, maka setelah keluarnya SK tersebut semakin banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dipersilahkan untuk keluar dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.
Pada tahun 1983 perdebatan tentang penggunaan “jilbab” disekolah antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Noegroho Notosoesanto yang kemudian direspon oleh MUI, masih menggunakan kata Kerudung. Noegroho menyatakan bahwa pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung. Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan pertemuan khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menegaskan bahwa seragam harus sama bagi semua orang berkaiatan dengan peraturannya, karena bila tidak sama berarti bukan seragam. Saat itu memang tengah gencar-gencarnya penggusuran para pemakai jilbab dari sekolah. Penggusuran jilbab di Indonesia dilakukan secara massif, mulai dari peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dan tak tertulis, hingga pada usaha-usaha mejauhkan kata jilbab dari generasi saat itu. Salah satu contohnya adalah dengan menghilangkan kata jilbab pada Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan ke-7 tahun 1984, lema yang kemudian digunakan adalah kata yang belum populer di Indonesia (saat itu) yaitu “hijab” yang merujuk pada kain penutup aurat bagi perempuan muslim.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa tidak selayaknya memberikan kesempatan ruang untuk pelajar putri mengenakan jilbab, padahal indonesia adalah negara islam dengan penduduknya dominan muslim. Apakah itu salah satu bentuk penerapan budaya militer. Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah, tentang lrangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer didalamnya. Ketika pelajar putri kedapatan memakai jilbab disekolah maka akan bermasalah dengan pihak sekolah. Selain itu rumah para siswa berjilbab didatangi oleh intelejen. Jilbab pada masa itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah. Terlihat juga ketidak pahaman guru maupun pejabat departemen pendidikan dan kebudayaan, terhadap maslaah hukum islamlam hal pakaian muslimah.
          Sebagai contoh, tidak lama setelah kemunculan SK 052 terjadi kausus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada tahuun 1982. Wargono, guru olahraga disekolah itu mengutip ayat-ayat Al-qur’an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan pada ciri-ciri tradisi setiap bangsa. Menurutnya, penutu aurat yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat indonesia dan bukan menurut kebiasaan ditempat islam berasal. Guru lahraga ini mewajibakan siswanya untuk memakai hot pants (celana pendek diatas luntut) pada saat jam pelajaran olahraga.
           Pada awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara islam dan pemerintahan. Kedua belah pihak saling berlawanan. Pada tahun 1984, pihak depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah, diddalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang depdikbud terhadap bermunculnya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes masyarakat terhadap SK 052. kemudian masih pada massa orde baru,  Alwi Alatas dalam tulisannya Kasus Jilbab di Sekolah-sekolah negeri di Indonesia, mencatat setelah peristiwa pelarangan jilbab yang terjadi di banyak sekolah karena SK 052/C/Kep/D/.82 tentang seragam sekolah nasional hingga ramainya isu wanita berjilbab yang menebar racun dipasar-pasar, yang menimbulkan reaksi dan kemarahan dari umat islam yang akhirnya melahirkan revolusi jilbab. Ribuan mahasiswa dan pelajar yang terdiri dari 60 lembaga islam se-Bandung di Universitas Padjajaran berunjuk rasa pada awal november 1989. Selanjutnya Mahasiswa dan pelajar kembali menggelar unjuk rasa menuntut kebebasan memakai jilbab pada 21 Desember 1989.  Korban demi korban terus berjatuhan tetapi semangat juang tetap berkorban sampai tibalah saat yang berbahagia. Unjuk rasa, protes, demontrasi dan dialog intensif serta jalur hukum. Seiring keluarnya SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 jilbab dilengkapi dengan busana menutup auratnya dinyatakan halal “diperbolehkan” masuk ke sekolah.
Meski sudah diterima di sekolah dasar sampai menengah, namun perjuangan jilbab di tingkat universitas pada tahun ini masih keras. Secara personal, banyak dosen di beberapa universitas yang tidak mau memberikan mata kuliah pada mahasiswi yang berjilbab. Hal itu kemudian merespon solidaritas dari beberapa aktivis di berbagai kampus. Dan pada silaturrahim lembaga dakwah kampus saat itu bersepakat menjadikan isu jilbab sebagai salah satu isu nasional yang harus diperuangkan.
Perjuangan mahasiswa dalam perjuangan kebebasan bagi muslimah untuk menggunakan jilbab sedikit demi sedikit menuai hasil. Dan moment reformasi tahun 1998 juga menjadi salah satu batu loncatan peruangan jilbab di Indoensia. Sejak reformasi, instansi pemerintahan sudah mulai memberikan kebebasan bagi muslimah untuk menggunakan jilbab. Bahkan pada tahun 2000-an, Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) juga sudah mulai memperbolehkan taruna mereka untuk mengunakan jilbab.Kini perjuangan jilbab yang “berdarah-darah” itu sudah membuahkan hasil. Wanita berjilbab dapat kita temukan di mana-mana. Jilbab yang dulu dianggap sebagai pakaian kampungan, aneh dan terlarang, kini telah naik derajatnya, menjadi salah satu jenis pakaian yang diterima dan dihargai oleh masyarakat luas. Dan bakan sudah menjadi trend mode yang digandrungi oleh remaja muslimah yang menamakan diri hijabber community. Terlepas dari trend jilbab yang tak sebatas pada unsur syar’i itu, saya ingin mengingatkan bahwa perjuangan jilbab tak lepas dari perjuangan mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Perjuangan kebebasan berjilbab itu digagas melalui kelompok-kelompok kecil dalam lingkungan kampus. Dan hingga kini, melalui Jaringan Muslimah (Jarmus) Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) mahasiswa terus menyerukan kebebasan menggunakan jilbab untuk setiap muslimah.
          Akhirnya kebenaran itu terbuka bukan karena aturan manusia, tetapi aturan Allah lah Yang Maha Kuasa. Hanya yang harus dipertanyakan kepada setiap insan kita. Apakah dari sekian perjuangan untuk mendapatkan kebebasan ini, justru kita malah mengahancurkannya sendiri?? Misalnya, jika dulu yang menggunakan jilbab adalah 28 orang dari 30 itu artinya yang tidak menggunakan hanya 2 orang saja. Tapi lihatlah sekarang  justru berbalik. Dari 30 orang yang ada, hanya 2 orang yang menggunakan jilbab. Yang itu artinya 28 orang yang tidak menggunakan jilbab..Padahal,masih ingatkah kita pada perjuangan diatas dan perintahnya Allah.


“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” [24:31].

PKM ITU APA?

PKM ITU APA?
Lulusan sebuah perguruan tinggi dituntut untuk memiliki academic knowledge, skill of thinking, management skill dan communication skill. Kekurangan atas salah satu dari ke empat keterampilan/kemahiran tersebut dapat menyebabkan berkurangnya mutu lulusan. Sinergisme akan tercermin melalui kemampuan lulusan dalam kecepatan menemukan solusi atas persoalan-persoalan atau tantangan-tantangan yang dihadapinya. Perilaku dan pemikiran yang ditunjukkan akan bersifat konstruktif realistik, artinya kreatif (unik dan bermanfaat) serta dapat diwujudkan. Kemampuan berpikir dan bertindak kreatif pada hakekatnya dapat dilakukan setiap manusia apalagi yang menikmati pendidikan tinggi. Kreativitas merupakan jelmaan integratif 3 (tiga) faktor utama dalam diri manusia, yaitu: pikiran, perasaan dan keterampilan. Dalam faktor pikiran terdapat imajinasi, pesepsi dan nalar. Faktor perasaan terdiri dari emosi, estetika dan harmonisasi. Sedangkan faktor keterampilan mengandung bakat, faal tubuh dan pengalaman. Dengan demikian, agar mahasiswa dapat mencapai level kreatif, ketiga faktor termaksud diupayakan agar optimal dalam sebuah kegiatan yang diberi nama Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
          PKM merupakan salah satu upaya yang dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DITLITABMAS) Ditjen Dikti untuk meningkatkan mutu peserta didik (mahasiswa) di perguruan tinggi agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan meyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta memperkaya budaya nasional. PKM dilaksanakan pertama kali pada tahun 2001, yaitu setelah dilaksanakannya program restrukturisasi di lingkungan Ditjen Dikti. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sarat dengan partisipasi aktif mahasiswa, diintegrasikan ke dalam satu wahana yaitu PKM.
                PKM dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim maupun mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni.
           Pada awalnya, dikenal 5 (lima) jenis kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-Penelitian (PKM-P), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T) dan PKM-Penulisan Ilmiah (PKM-I). Sejak Januari 2009, DITLITABMAS mengelola 6 (enam) PKM. Kompetisi Karya Tulis Mahasis¬wa (KKTM) yang semula menjadi tugas Direktorat Akademik dalam pengelolaannya, dilimpahkan kepada DITLITABMAS. Karena sifatnya yang identik dengan PKM-I, KKTM selanjutnya dikelola bersama-sama PKM-I dalam PKM-Karya Tulis (PKM-KT). Dengan demikian, di dalam PKM-KT terkandung 2 (dua) program penulisan, yaitu: PKM-Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan Tertulis (PKM-GT). PKM-I atau selanjutnya disebut PKM-AI yang merupakan artikel hasil kegiatan, tidak lagi ditampilkan dalam PIMNAS, namun dimuarakan pada e-journal. Sedangkan PKM-GT yang berpeluang didiskusi¬kan dalam forum terbuka, diposisikan sebagai pengganti PKM-AI di PIMNAS.
Pada tahun 2011, jumlah bidang PKM bertambah menjadi 7 (tujuh) dengan terbitnya bidang PKM-KARSACIPTA. Uraian detilnya dapat disimak pada bagian Karakteristik Umum setiap Bidang PKM.
Program Kreativitas Mahasiswa dialokasikan di DITLITABMAS Ditjen Dikti bagi seluruh perguruan tinggi.
          Maka dari itu kami ingin mengembangkan inovasi yang terdapat dalam diri kami dengan mengikuti kegiatan PKM yang mewadahi mahasiswa dalam berkarya. berikut adalah program PKM-M 2015 yang lolos dan didanai. DAPAT DILIHAT DI  disini
semoga mengispirasi dan bisa menjadi contoh. 

terus berkarya, menulislah jika kamu ingin terus dikenang 
Peninggalan masa Belanda di Timur Aceh 






Kisah Meureudu dalam Potret Sejarah Aceh

Film dan sandiwara di langsa pada masa pendudukan jepang

Film dan Sandiwara di Langsa pada masa Pendudukan Jepang



Pertunjukan dan Propaganda: Film dan Sandiwara di Langsa pada masa Pendudukan Jepang
Oleh Aulia Rahman, Staf Pengajar Pendidikan Sejarah Universitas Samudra Langsa 


Dunia hiburan atau pertunjukan, tampaknya tidak pernah lepas dari keseharian setiap masyarakat. Mau keadaan sedang susah seperti apapun, dunia hiburan akan terus ada. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia yang setiap saat senantiasa memerlukan hiburan untuk sarana rekreasi. Paling tidak ada dua  persyaratan yang harus dipenuhi dalam keberlangsungan sebuah pertunjukan. Pertama adalah adanya pelaku atau  actor. Kedua, ada penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Demikian juga pada masa pendudukan jepang di Langsa, dimana dunia hiburan masih laris dipertunjukkan. Salah satu jenis hiburan yang ada pada waktu itu adalah film bioskop. Film merupakan salah satu bentuk hiburan yang sudah sangat popular di Langsa pada awal tahun 1900-an. Sebagai sebuah hiburan baru, pada saat itu penikmatnya didominasi oleh orang-orang Eropa di Langsa. Film yang diputar pada sebuah bioskop juga didominasi oleh film-film barat yang di impor langsung dari Amerika. Orang-orang pribumi hanya beberapa gelintir orang yang dapat menikmati sajian hiburan ala Eropa tersebut. Selain karena harga tiket yang cukup mahal, tidak semua orang-orang pribumi dapat memahami maksud dan jalan cerita dari sebuah film. Pada masa Belanda, bioskop dan film yang diputar, adalah sebuah symbol dari ekslusifitas dunia hiburan.

Namun pada masa Jepang, fungsi sebagai hiburan tampaknya telah mengalami pergeseran. Pada masa pendudukan Jepang, film berubah menjadi salah satu alat propaganda yang sangat efektif. Dengan format film yang sebelumnya telah dikemas dengan sangat menarik serta menampilkan hal-hal yang heroic, akan sangat mudah untuk menggugah semangat dan memobilisasi masa. Hal tersebut tampaknya sangat cocok diterapkan, mengingat pada masa pendudukan Jepang, Jepang sedang berada dalam tingkat kewaspadaan yang tinggi, karena terlibat dalam perang Asia Timur Raya. Media film diharapkan menjadi salah satu media untuk memupuk, menggelorakan semangat, serta mendapatkan simpati dari masyarakat pribumi.

Dalam surat kabar Atjeh Shinbun 19 Juni 1943, dikabarkan bahwa di Langsa terdapat pemutaran film Jepang di Setara Eigakan.  Film tersebut diputar dua kali dalam sehari. Pertama kali film tersebut diputar pada pukul 7 Nippon yang diperuntukkan khusus bagi para karyawan dan keluarganya. Sementara itu, pertunjukan kedua diputar pukul 10 Nippon yang diperuntukkan untuk masyarakat umum. Pemutaran film Jepang ini tampaknya mendapatkan perhatian yang sangat bagus dari masyarakat. Lain halnya dengan pemutaran Film Nippon di Bieruen yang diputar hingga 4 kali, mulai jam 4 petang hingga pukul 12 malam. Harga karcis perorang 10 sen dan jumlah penontonnya sekita 1.300 orang ( Atjeh Shinbun 11 April 1943).

Ditengah-tengah situasi sosial, politik dan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, mereka mendapatkan sebuah suguhan hiburan yang dapat meringankan sejenak beban pikiran mereka. Hal tersebut dapat dilihat dengan penuhnya tempat pemutaran film Jepang tersebut.Film jepang yang diputar di Setara Eigakan terdiri dari 3 bagian. Pertama pembukaan, kedua nyanyian Kunino Hana yang disertai dengan gambar-gambar yang menarik, ketiga tentang perjuangan tentara Jepang di Hawai dan Malaysia.

Dengan diputarnya film-film tersebut, secara tidak sadar masyarakat diberikan informasi searah yang berkaitan dengan Jepang, yang tentu saja semua informasi tentang Jepang bermuatan positif, bahkan cenderung melebih-lebihkan. Hal ini memang disengaja, dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dan bantuan bagi para tentara Jepang dalam mengahadapi perang Asia Timur Raya.

Hiburan lainnya yang dipertunjukkan di Langsa pada masa pendudukan Jepang di Langsa adalah kelompok Sandiwara Sendehen. Sandiwara Sendehen pentas di Langsa pada hari minggu tanggal 11  Sigatsu  Syowa 18 bertempat di Sisen Eigekan. Cerita yang dipentaskan adalah Dibawah Lindungan Hinomaru, karangan dari Umar Amin Husein. Drama tersebut terdiri dari 5 babak. Setelah pertunjukan selesai, penonton sangat puas. (Atjeh Shinbun 11 April 1943).

Kelompok sandiwara Sendehen ini merupakan kelompok sandiwara keliling. Wilayah pertunjukan kelompok sandiwara ini tidak terbatas pada satu tempat. Mereka berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain. Hampir sama dengan Film bioskop, sandiwara Sendehen ini tampaknya memiliki tujuan sebagai alat propaganda Jepang. Hal ini dapat dilihat dari Judul atau Lakon yang dibawakan, yakni Di bawah Lindungan Hinomaru. Judul tersebut menyiratkan bahwa Hinomaru yang dianggap sebagai symbol Nippon memiliki kekuatan yang luar biasa yang sanggup melindungi Negara-negara di kawasan Asia Timur-Tenggara, termasuk Indonesia.

Pilihan Nippon menggunakan media hiburan sebagai salah satu alternative alat propaganda, nampaknya merupakan pilihan yang sangat cerdas. Karakter masyarakat yang selalu membutuhkan hiburan untuk kesegaran rohani, membuat hiburan ala Jepang ini sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat yang berduyung-duyung datang dan menyaksikan pertunjukan tersebut. Dengan demikian, peluang keberhasilan alat propaganda melalui media hiburan ini dapat berjalan sesuai yang direncanakan oleh Jepang.
Kehidupan dan perjuangan sesosok wanita Aceh 


Sejarah kekuasaan aceh

PEKSIMIDA XIII ACEH 2016


PEKSIMIDA XIII ACEH 2016 - PEKAN SENI MAHASISWA DAERAH ACEH - UNIVERSITAS SAMUDRA LANGSA

WISUDA UNIVERSITAS SAMUDRA 2016 
PEKSIMITAS & EXSPO DIES NATALIS 3
UNIVERSITAS SAMUDRA 

visi misi prodi sejarah


ANDA ALUMNI!!!

ANDA ALUMNI!!!

FORM PENELUSUAN ALUMNI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS SAMUDRA